Di pagi yang masih terlihat gelap namun matahari sudah
hampir memunculkan wujudnya. Terdengar ketukan pintu kamar ku yang
menggebuh-gebuh, dan terdengar membisingkan telingaku. “haduuhh, siapa sih,
malam-malam gini ngetuk pintu !” Teriakku kesal. “malam-malam, liat coba itu
sudah jam berapa ?!” jawab ayah dengan nada pelan namun serius. Dengan wajah
ngantuk dan lesu, aku pun langsung melihat jam, dan apa yang kulihat, “what ?
aduhh, aku bisa kesiangan ni” jawab ku sambil bergegas menuju kamar mandi.
Selesai mandi,
aku langsung memakai seragam sekolah ku, dan langsung pamit sama ayah dan ibu,
“loh, loh Nadin, kenapa tidak srapan dulu, ko langsung nyelonong gitu aja ?”
sapa ibu, sambil menyuruhku sarapan pagi bersama, “aduh bu, maaf deh, Nadin
mohon ampun, bukannya apa bu, ini udah telat bu” jawab ku, dengan nada manja
“hemm, dasar mulai deh lebay.nya” jawab ibu, sambil tersenyum,sedikit tertawa
“hehehe, ya sudah, Nadin pergi ya, yah, bu Asallammuallaikum” jawab pamitku,
sambil sedikit berlari kecil menuju pintu keluar, “Wallaikumsallam” jawab ayah
& ibu serentak. “dasar itu anak, telat mulu tiap hari, anak perempuan kok
kaya gitu sih !” omel papah di pagi, menejlang siang itu. “aduh pah, sudahlah,
nanti biar mama yang nasehatin Nadin, supaya bangun agak pagi” jawab mama.
~ Waktu jam
istirahat di sekolah, di saat semua murid menuju ke kantin, dan ada juga yang
ngobrol-ngobrol, di teras depan kelas, aku hanya duduk melamun di bangku kelas
sendiri, aku mengingat memory masa kecil ku dahulu di mana dulu aku merasa
bagaikan seorang malaikat yang terlahir di didik dan diasuh oleh kedua orang
tua yang menyayangiku, kadang aku tak acuh pada omelan ayah, namun terkadang
ayah memanjakan ku dengan penuh kasih sayang. Dan “Krrriiiiiing” tak terasa
bell pulangan pun berbunyi .
“Asallammuallaikum”
Salamku, memasuki rumah “Wallaikumsallam” jawab ibu. “ayah dimana bu ?” tanyaku
pada ibu “tadi ayah bilang, ayah mau beli obat ke apotek” Jawab ibu “oo, gitu
ya bu, ya sudah, Nadin ke kamar dulu ya bu” Jawabku. Ayah memang punya penyakit
jantung yang terkadang kambuh dan membuatnya tak tahan akan nyeri yang
menyengat tubuh ayah, namun ayah tak pernah putus asa, ayah yakin suatu saat
penyakit ayah itu bisa sembuh, ayah selalu berdoa dan berikhtiar dengan
berobat.
Sekitar 2 jam berlalu …
“Asallammuallaikum,
Bu, bu, Ibu Fatma ?” Suara orang
memanggil mama, sambil mengetuk pintu rumah “iya sebentar … Wallaikumsallam,
ada apa ya ?” jawab ibu “iya om, ada apa ya ?” jawabku ketika baru sampai di
depan pintu “itu bu, pak, pak Salman kecelakaan di perempatan jalan !” jawab om
Mardi sambil terengah-engah “ayah kecelakaan ?!” jawabku, sambil berlari menuju
tempat kejadian bersama ibu.
Sesampai di tempat kejadian, Ayah, langsung di bawa ke Rumah
Sakit.
“Bu, Nadin
yakin, ayah pasti bakalan selamat dan pulih kembali” ujar ku sambil menangis terharu “iya Nadin,”
jawab ibu juga sambil menangis karna ibu masih shock.
Beberapa menit kemudian, keluar seorang dokter menghampiri
kami, dan sepertinya ingin berbicara sesuatu, namun wajah dokter itu seperti
serius dan agak berduka.
“apakah ibu
dan anak perempuan ini, saudara bapak tadi ?” Tanya dokter kepada kami berdua
“iya dok, saya anak bapak tadi, dan ini ibu saya. gimana keadaan ayah saya dok,
apakah keadaan ayah saya tidak terlalu parah ?” jawabku, sambil memberi
beberapa pertanyaan, dengan cemas “begini dek, saya mohon maaf, ayah adik,
sudah tidak bisa di selamatkan, karna ayah adik tadi terkaget setelah tetabrak
dan penyakit jantung ayah adik kambuh” jawab dokter itu sambil menundukkan
kepala “apa dok, dokter pasti bohong !” jawabku, dan langsung memasuki ruangan,
dimana ayah terbaring. “yah, ayah engga meninggalkan, ayah masih hidupkan ?”
ujarku sambil menangis, di samping tempat dimana ayah terbaring “sudah nak,
ikhlaskan, ayah pergi” jawab mama sambil mengelus pundakku “tapi ma …” belum
sempat aku berbicara, mama langsung berkata, “Nadin, percaya deh, ayah pasti
tenang disana, kalau Nadin ikhlas” ujar mama “iya ma” jawabku sambil menangis
sedikit histeris.
Beberapa bulan, setelah kepergian ayah …
Pagi seperti
biasanya, ku rasa sunyi, kini tak bisa lagi ku dengar suara pintur kamar yang
tergedor-gedor, tak ada lagi seorang ayah yang begitu perhatian, membangunkan
tiap pagi, tak ada lagi ocehan dan omelan ayah yang terkadang lebih menakutkan
dari omelan bunda, tak bisa lagi ku lihat senyum ayah. Rasanya setelah
kepergian ayah, seperti separuh jiwaku, dan jiwa ibuku hilang. Terkadang ku
lihat ibu murung sendiri, dan terkadang kulihat ibu menangis, sambil memeluk
foto ayah.
“Ayah
yakinlah, sampai kapanpun kenangan tentang ayah akan selalu menjadi sebuah
cerita yang tak bisa ku lupakan, walaupun
kini ayah telah terbaring disana ku yakin ayah bahagia, disini ibu dan
Nadin, tak henti memikirkan ayah, ibu dan Nadin selalu sayang ayah” Isi tulisan
yang ku tulis di selembar kertas dank u masukan ke dalam botol, lalu ku
larutkan di pantai.
Setelah itu
aku dan ibu memutuskan untuk pindah ke rumah kami dahulu, untuk menenangkan
pikiran ibu dan mencoba mengingat masa lalu dahulu yang pernah kami habiskan di
rumah itu.
“TAMAT”
Karya :
Dina Rusliana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar