Balikpapan, sebuah kota
yang penuh keramaian, kenyamanan, dan Keindahan. Disinilah aku lahir dan tumbuh
besar, Orang tuaku? Jangan kau tanyakan tentang itu. Tahukah kalian, mereka
pergi meninggalkan ku begitu saja didalam kardus kecil. mereka menelantarkan ku
di tempat sampah pasar Klandasan. Tapi aku tidak hidup sebatang kara di Kota
BERIMAN (Bersih, Indah, Aman, dan Nyaman) ini, aku mempunyai sahabat yang setia
denganku, sedih susah kita lewati bersama. Setiap hari aku selalu bekerja banting
tulang sendiri demi sesuap nasi kadang tak makan pun sering ku rasakan. Dan tahukah
kalian, hampir semua jalan dikota ini aku hafal, karena setiap hari kaki ku
selalu berpijak dari suatu tempat, ketempat lain, sambil kutawarkan dagangan
yang sudah hampir layu karena dari pagi hingga siang hari belum ada satupun
seorang dermawan yang mau membelinya. Mungkin dalam benak semua orang yang dari
tadi melewatiku. Jajanan yang ku jajarkan ini, adalah sampah yang tak layak
konsumsi, karena yang mereka liat orang yang menjajahkan makanan ini adalah
orang kecil yang berpakain lusuh tak terurus di temani lobang-lobang kecil
disela-sela kain yang cukup diterawang oleh mata. Putus asa percuma bagiku,
tercipta dalam benakku sepatah kalimat. “apa
untung dan gunanya berputus asa, kebahagaian nyata pun belum ku dapatkan, lagi
pula putus asa pun sangat dibenci oleh Allah”, hal ini yang selalu
terngiang dalam benakku ketika aku merasa sangat lelah dan terhina.
“Misran …??” teriak seseorang yang terdengar jauh berada
di arah samping kananku, sambil berlari dia menuju ketempat peristirahatanku,
dimana saat lelah aku selalu duduk disini
“Siapa? Kau kah itu Nina?” sahutku sembari meminta
kepastian tentang sesosok makhluk yang terpandang samar-samar oleh mataku
“Hah..haah… dari tadi ku cari kesana kemari, rupanya
disini kau” jawab Nina yang baru saja mendarat tepat disamping kanan tempat
duduk ku sambil meluncurkan pukulan kecil dan pelan pada pundaku, dengan nafas
yang terengah-engah
“Rupanya kau Nin, ada kepentingan apa, sampai mencariku
kemari?” jawabku dengan nada santai, sambil memindahkan daganganku
“Apakah kau sudah tau, bahwa didaerah dekat pasar baru,
ada sekolahan khusus buat anak tidak mampu seperti kita, bukankah dari dulu kau
ingin sekolah ran?”
Sentak perkataan Nina
tadi membuat hatiku berdegup kencang, akal pikiran serasa tak percaya,
mungkinkah, orang seperti kami, yang terpandang nista dan menjijikan bisa
mendapatkan pendidikan yang seperti orang-orang kaya rasakan sekolah dengan
sepatu yang mengkilap selaras dengan seragam nan megah dan gagah! Tanpa
komandan mulutku berkata “Ayo Nin! Segera bawa aku kesana, tunjukan dimana
letak sekolah kita itu!” aku mengucapkan kata-kata itu sambil berdiri dengan
mata terbelalak dan berkaca-kaca menghadap kedepan, dan tanpa kedip. Ku ulang
perkataanku itu berkali-kali hingga Nina pun langsung menarik tanganku dan
membawaku ke sekolah yang akan kami tempati nanti. Sesampainya disana jantungku
kembali berdegup kencang, kembali aku berfikir nyatakah ini atau mimpi semata.
Nina mencubit tanganku
“Aww …!!” teriakku kesakittan
“Mengapa kau masih saja bengong? Mikir apa lagi sih?
Biaya? Sekolah ini tidak memungut biaya kok, jadi kau tak usah pusing soal itu”
Nina menjelaskan panjang lebar.
“Kapan kita akan belajar disekolah ini?” jawabku
tersenyum sembari menoleh ke arah Nina
“Besok kita akan memulai pemebelajaran disini, sekarang
kita persiapkan dulu semua Perlengkapan sekolah yang akan kita bawa besok” jawab
Nina sambil menggotongku meninggalkan sekolah itu menuju tempat tinggal
masin-masing
“Perlengkapan sekolah?” jawabku ringan lalu menundukan
kepala, sesekali ku toleh keatas sembari berfikir, dari mana akan ku dapatkan
perlengkapan sekolah yang akan ku kenakan besok?! Uang saja pun aku tak punya
karena daganganku tak ada satupun yang terjual. Tuhan bantulah orang kecil
sepertiku ini, baru saja aku merasa bahagia karena keinginanku yang lama hampir
terwujud, kini apa yang harus kulakukan. Hatiku tak berhenti berdegup selaras
dengan otakku yang terpelilit tak tau harus bagaimana
“Sudah
soal perlengkapan sekolah ini tak usah kau pikirkan, aku masih menyimpan uang
tabunganku dalam celengan, dan tadi pagi celengan itu baru saja ku pecahkan,
jadi …”
Perkataan Nina sekejap
terhenti dia tak tega melihatku bersedih. Sekarang dalam hatiku, kembali
terwujud rasa sedih yang mendalam. Setiap aku susah, selalu saja dia
menolongku, seakan aku tak mampu mengusahakannya sendiri. Tapi aku merasa bahwa
itulah Nina, seorang perempuan yang tegar dan optimis. dulu dia pernah bilang
bahwa dia bercita-cita menjadi seorang pelukis yang terkenal, karena dari kecil
dia suka sekali menggambar dan mewarnai sebuah objek, dan hasilnya pun sangat
bagus.
“Nin, aku merasa aku selalu menyusahkanmu dalam segala
hal” ucapku masih dalam keadaan menadahkan pandangan wajah ke a arah bawah
tanpa memandang arah perjalanan
“Aku tak merasa tersusahkan oleh mu kok Misran, siapa
yang berkata seperti itu, kau itu sahabatku. Sedih, susah, senang, atau apapun
keadaan yang menghadang kita hadapi bersama” ujar Nina sembari melemparkan
senyum bersambung rona merah dipipinya pertanda bahwa dia merasa haru.
Dilanjutkan dengan air mata bak aliran air yang turun dari atas air terjun nan
indah karena di teteskan bersama dengan segumpal senyum indah yang sudah lama
sekali tak terlihat dari wajahnya.
Pagi ini aku mulai hari
dengan semangat jiwa membara. Bak api berkobar tiada henti, karena hari ini aku
akan memulai kengininanku yang lama terkubur dalam jiwa. Karena aku hanyalah
seorang anak jalanan yang berpakaian kumuh, lusuh, dan sobek. Secepat kilat ku
kenakan pakaianku, aku sekolah tanpa seragam, dengan baju seadaanya tanpa alas
kaki pula, karena sekolah itu tidak mempunyai tata tertib khusus bahwa anak
yang sekolah di sekolah itu harus mengenakan pakaian seragam lengkap. Jadi,
tanpa seragam dan sepatu sekolah, aku tetap bisa melangsungkan kegiatan belajar
mengajar. Itu yang Nina bilang padaku.
Sebentar lagi matahari
akan segera menyapa dunia, ku tolehkan kepalaku keluar jendela yang berada di
sebelah kanan tempat tidurku. Ops! Bukan ini bukan tempat tidurku, maksudku ini
adalah tempat tidur milik warga sekitar wilayah Gunung Sari yang berhati mulai
mau menampungku untuk tempat beristirahat disaat lelah dan sebagai tempat
tinggal sementara untukku berteduh dan berlindung. Ku lihat matahari sedikit
demi sedikit menampakan wujudnya. Lalu ku hentikan kegiatanku menoleh keluar
jendela dan duduk terpaku ku pandangi setiap sudut ruangan yang ku tempati,
lalu ku tolehkan ke bawah lantai, mulai muncul khayalan kenginannku di masa
depan. Aku bercita-cita ingin menjadi seorang Guru, iya Guru, Guru yang selalu
ikhlas dalam menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya, guru yang selalu ramah
kepada murid-muridnya, dan guru yang tak pernah meminta imbalan atas semua ilmu
yang beliau sampaikan. Aku ingin sekali membagi ilmu yang akan segera ku
dapatkan di sekolah pertamaku ini. Aku tak ingin kelak akan ada lebih banyak
anak-anak terlantar/dijalanan kota Balikpapan yang sangat ku cintai ini mereka
yang selalu direndahkan dan di hina karena mereka tak punya pendidikan, aku tak
mau mereka dihina dan dilecehkan sama sepertiku.
“Ran.. Misran?” ujar Nina sambil menggoyangkan tubuhku
“Mengapa kau melamun, apa yang kau pikrkan, Ayo segera kita berangkat
kesekolah” sambung Nina sembari menggotong ku keluar dari kamar, dan segera
menuju ke sekolah. Saat itu aku tersadar dari lamunanku, ku pijakkan kaki
menyusuri jalan demi jalan dengan penuh semangat, tak lepas pula senyuman lebar
di wajahku. Dan Nina pun ikut tersenyum, melihat semangat dan keceriaanku.
Sesampainya aku
disekolah, aku langsung mengambil tempat duduk paling depan bersampingan dengan
Nina. Senyum lebarku belum jua terhapus, sampai pada saat masuklah seorang
wanita cantik separuhbaya mengenakan baju biru muda nan indah bak ibu Kartini.
Beliau hadir dengan senyum disertai lesung pipi yang manis dan imut.
“Selamat Pagi semua …” sapa Bu Irma kepada kami semua
“Selamat Pagi Bu …” jawab kami serentak
“Gimana nih? Sudah siap untuk belajar semuanya?” ujar Bu
Irma lagi sambil melemparkan senyuman yang indah
“Siap Bu …!!” jawab kami kembali serentak sembari
membalas senyum bu Irma
Hari mulai gelap,
sekarang aku terpaku dan kembali mengkhayal tentang cita-citaku. Aku duduk
sembari menatap binatang-bintang dilangit. Dalam hati aku berkata, mengapa
anak-anak seperti kami selalu dipandang sebelah mata. Mengapa kami selalau
dihina. Mengapa anak-anak seperti kami tak pernah dipandang dengan pemikiran
positif, selalu saja yang ada dalam fikiran orang-orang tentang kami adalah
bahwa kami hanyalah sampah yang tak berguna, kami selalu dianggap menjijikan
dan selalu dihina. Sekarang keadaan hatiku saling berseteru, lihat saja nanti,
kelak bila aku besar nanti, akan ku tunjukan pada mereka semua, bahwa anak-anak
jalan seperti kami bukanlah sampah yang menjijikan melainkan sebuah intan yang
lama tertutupi oleh lumut-lumut. Akan ku
buat harum nama kota ku ini. Tiba-tiba lamunanku buyar, baru saja ku
lihat setitik cahaya berjalan dengan pelan diatas langit, “Bintang jatuh!” ya
bintang jatuh, seketika ku pejamkan mata dan menadahkan tangan sembari memohon
permintaan. Konon katanya bila ada bintang jatuh, dan kita sempat meminta
permohonan, permohonan itu akan terkabul. “Ya
Allah, aku ini hanya anak susah yang hidup dan besar dipinggir jalan, tak
banyak harap yang ku punya, aku hanya ingin, kelak aku dapat membuat semua
orang tak memandang anak-anak seperti kami dengan sebelah mata, aku ingin, aku
dapat membuat perubahan di kotaku ini dan mengharumkan nama baik kotaku
“BALIKPAPAN” hmm, sekarang perasaan ku sedikit tenang, aku berharap do’aku
akan terkabul, aku yakin Tuhan maha mendengar dan maha melihat. Kulangkahkan
kaki ku kembali ke kamar tidurku, sebelum mataku terpejam kembali ku panjatkan
permintaan ku yang tadi berlangsung tidak lama saat bintang jatuh. Lalu mataku
terpejam dan kini aku hanyut dalam mimpi yang menampakan seorang lelaki tampan
berjas hitam berdalamkan kemeja putih yang indah dan gagah namun wajah tak
tampak jelas, ku coba memandang lebih dalam, betapa terkejutnya aku bahwa itu
adalah aku yang terlihat berbeda dengan aku yang sekarang. Inikah aku dimasa
depan terlihat gagah dan wibawa, serta menjadi orang terpandang oleh sepenjuru
mata orang memandang?
Saat aku terbangun aku
kembali berharap bahwa do’a, harapan, serta mimipnya semalam. Akan terwujud.
Jiwa optimis muncul dalam benakku! Lalu aku berangkat sekolah dan belajar
sungguh-sungguh.
KARYA : Dina Rusliana
Tidak ada komentar:
Posting Komentar