Selasa, 14 Februari 2012

Bibit-Bibit Generasi Masa Depan (CerPenKu)


Balikpapan, sebuah kota yang penuh keramaian, kenyamanan, dan Keindahan. Disinilah aku lahir dan tumbuh besar, Orang tuaku? Jangan kau tanyakan tentang itu. Tahukah kalian, mereka pergi meninggalkan ku begitu saja didalam kardus kecil. mereka menelantarkan ku di tempat sampah pasar Klandasan. Tapi aku tidak hidup sebatang kara di Kota BERIMAN (Bersih, Indah, Aman, dan Nyaman) ini, aku mempunyai sahabat yang setia denganku, sedih susah kita lewati bersama. Setiap hari aku selalu bekerja banting tulang sendiri demi sesuap nasi kadang tak makan pun sering ku rasakan. Dan tahukah kalian, hampir semua jalan dikota ini aku hafal, karena setiap hari kaki ku selalu berpijak dari suatu tempat, ketempat lain, sambil kutawarkan dagangan yang sudah hampir layu karena dari pagi hingga siang hari belum ada satupun seorang dermawan yang mau membelinya. Mungkin dalam benak semua orang yang dari tadi melewatiku. Jajanan yang ku jajarkan ini, adalah sampah yang tak layak konsumsi, karena yang mereka liat orang yang menjajahkan makanan ini adalah orang kecil yang berpakain lusuh tak terurus di temani lobang-lobang kecil disela-sela kain yang cukup diterawang oleh mata. Putus asa percuma bagiku, tercipta dalam benakku sepatah kalimat. “apa untung dan gunanya berputus asa, kebahagaian nyata pun belum ku dapatkan, lagi pula putus asa pun sangat dibenci oleh Allah”, hal ini yang selalu terngiang dalam benakku ketika aku merasa sangat lelah dan terhina.
            “Misran …??” teriak seseorang yang terdengar jauh berada di arah samping kananku, sambil berlari dia menuju ketempat peristirahatanku, dimana saat lelah aku selalu duduk disini
            “Siapa? Kau kah itu Nina?” sahutku sembari meminta kepastian tentang sesosok makhluk yang terpandang samar-samar oleh mataku
            “Hah..haah… dari tadi ku cari kesana kemari, rupanya disini kau” jawab Nina yang baru saja mendarat tepat disamping kanan tempat duduk ku sambil meluncurkan pukulan kecil dan pelan pada pundaku, dengan nafas yang terengah-engah
            “Rupanya kau Nin, ada kepentingan apa, sampai mencariku kemari?” jawabku dengan nada santai, sambil memindahkan daganganku
            “Apakah kau sudah tau, bahwa didaerah dekat pasar baru, ada sekolahan khusus buat anak tidak mampu seperti kita, bukankah dari dulu kau ingin sekolah ran?”
Sentak perkataan Nina tadi membuat hatiku berdegup kencang, akal pikiran serasa tak percaya, mungkinkah, orang seperti kami, yang terpandang nista dan menjijikan bisa mendapatkan pendidikan yang seperti orang-orang kaya rasakan sekolah dengan sepatu yang mengkilap selaras dengan seragam nan megah dan gagah! Tanpa komandan mulutku berkata “Ayo Nin! Segera bawa aku kesana, tunjukan dimana letak sekolah kita itu!” aku mengucapkan kata-kata itu sambil berdiri dengan mata terbelalak dan berkaca-kaca menghadap kedepan, dan tanpa kedip. Ku ulang perkataanku itu berkali-kali hingga Nina pun langsung menarik tanganku dan membawaku ke sekolah yang akan kami tempati nanti. Sesampainya disana jantungku kembali berdegup kencang, kembali aku berfikir nyatakah ini atau mimpi semata. Nina mencubit tanganku
            “Aww …!!” teriakku kesakittan
            “Mengapa kau masih saja bengong? Mikir apa lagi sih? Biaya? Sekolah ini tidak memungut biaya kok, jadi kau tak usah pusing soal itu” Nina menjelaskan panjang lebar.
            “Kapan kita akan belajar disekolah ini?” jawabku tersenyum sembari menoleh ke arah Nina
            “Besok kita akan memulai pemebelajaran disini, sekarang kita persiapkan dulu semua Perlengkapan sekolah yang akan kita bawa besok” jawab Nina sambil menggotongku meninggalkan sekolah itu menuju tempat tinggal masin-masing
            “Perlengkapan sekolah?” jawabku ringan lalu menundukan kepala, sesekali ku toleh keatas sembari berfikir, dari mana akan ku dapatkan perlengkapan sekolah yang akan ku kenakan besok?! Uang saja pun aku tak punya karena daganganku tak ada satupun yang terjual. Tuhan bantulah orang kecil sepertiku ini, baru saja aku merasa bahagia karena keinginanku yang lama hampir terwujud, kini apa yang harus kulakukan. Hatiku tak berhenti berdegup selaras dengan otakku yang terpelilit tak tau harus bagaimana
            “Sudah soal perlengkapan sekolah ini tak usah kau pikirkan, aku masih menyimpan uang tabunganku dalam celengan, dan tadi pagi celengan itu baru saja ku pecahkan, jadi …”
Perkataan Nina sekejap terhenti dia tak tega melihatku bersedih. Sekarang dalam hatiku, kembali terwujud rasa sedih yang mendalam. Setiap aku susah, selalu saja dia menolongku, seakan aku tak mampu mengusahakannya sendiri. Tapi aku merasa bahwa itulah Nina, seorang perempuan yang tegar dan optimis. dulu dia pernah bilang bahwa dia bercita-cita menjadi seorang pelukis yang terkenal, karena dari kecil dia suka sekali menggambar dan mewarnai sebuah objek, dan hasilnya pun sangat bagus.
            “Nin, aku merasa aku selalu menyusahkanmu dalam segala hal” ucapku masih dalam keadaan menadahkan pandangan wajah ke a arah bawah tanpa memandang arah perjalanan
            “Aku tak merasa tersusahkan oleh mu kok Misran, siapa yang berkata seperti itu, kau itu sahabatku. Sedih, susah, senang, atau apapun keadaan yang menghadang kita hadapi bersama” ujar Nina sembari melemparkan senyum bersambung rona merah dipipinya pertanda bahwa dia merasa haru. Dilanjutkan dengan air mata bak aliran air yang turun dari atas air terjun nan indah karena di teteskan bersama dengan segumpal senyum indah yang sudah lama sekali tak terlihat dari wajahnya.

Pagi ini aku mulai hari dengan semangat jiwa membara. Bak api berkobar tiada henti, karena hari ini aku akan memulai kengininanku yang lama terkubur dalam jiwa. Karena aku hanyalah seorang anak jalanan yang berpakaian kumuh, lusuh, dan sobek. Secepat kilat ku kenakan pakaianku, aku sekolah tanpa seragam, dengan baju seadaanya tanpa alas kaki pula, karena sekolah itu tidak mempunyai tata tertib khusus bahwa anak yang sekolah di sekolah itu harus mengenakan pakaian seragam lengkap. Jadi, tanpa seragam dan sepatu sekolah, aku tetap bisa melangsungkan kegiatan belajar mengajar. Itu yang Nina bilang padaku.
Sebentar lagi matahari akan segera menyapa dunia, ku tolehkan kepalaku keluar jendela yang berada di sebelah kanan tempat tidurku. Ops! Bukan ini bukan tempat tidurku, maksudku ini adalah tempat tidur milik warga sekitar wilayah Gunung Sari yang berhati mulai mau menampungku untuk tempat beristirahat disaat lelah dan sebagai tempat tinggal sementara untukku berteduh dan berlindung. Ku lihat matahari sedikit demi sedikit menampakan wujudnya. Lalu ku hentikan kegiatanku menoleh keluar jendela dan duduk terpaku ku pandangi setiap sudut ruangan yang ku tempati, lalu ku tolehkan ke bawah lantai, mulai muncul khayalan kenginannku di masa depan. Aku bercita-cita ingin menjadi seorang Guru, iya Guru, Guru yang selalu ikhlas dalam menyampaikan ilmu kepada murid-muridnya, guru yang selalu ramah kepada murid-muridnya, dan guru yang tak pernah meminta imbalan atas semua ilmu yang beliau sampaikan. Aku ingin sekali membagi ilmu yang akan segera ku dapatkan di sekolah pertamaku ini. Aku tak ingin kelak akan ada lebih banyak anak-anak terlantar/dijalanan kota Balikpapan yang sangat ku cintai ini mereka yang selalu direndahkan dan di hina karena mereka tak punya pendidikan, aku tak mau mereka dihina dan dilecehkan sama sepertiku.


            “Ran.. Misran?” ujar Nina sambil menggoyangkan tubuhku “Mengapa kau melamun, apa yang kau pikrkan, Ayo segera kita berangkat kesekolah” sambung Nina sembari menggotong ku keluar dari kamar, dan segera menuju ke sekolah. Saat itu aku tersadar dari lamunanku, ku pijakkan kaki menyusuri jalan demi jalan dengan penuh semangat, tak lepas pula senyuman lebar di wajahku. Dan Nina pun ikut tersenyum, melihat semangat dan keceriaanku.
Sesampainya aku disekolah, aku langsung mengambil tempat duduk paling depan bersampingan dengan Nina. Senyum lebarku belum jua terhapus, sampai pada saat masuklah seorang wanita cantik separuhbaya mengenakan baju biru muda nan indah bak ibu Kartini. Beliau hadir dengan senyum disertai lesung pipi yang manis dan imut.
            “Selamat Pagi semua …” sapa Bu Irma kepada kami semua
            “Selamat Pagi Bu …” jawab kami serentak
            “Gimana nih? Sudah siap untuk belajar semuanya?” ujar Bu Irma lagi sambil melemparkan senyuman yang indah
            “Siap Bu …!!” jawab kami kembali serentak sembari membalas senyum bu Irma


Hari mulai gelap, sekarang aku terpaku dan kembali mengkhayal tentang cita-citaku. Aku duduk sembari menatap binatang-bintang dilangit. Dalam hati aku berkata, mengapa anak-anak seperti kami selalu dipandang sebelah mata. Mengapa kami selalau dihina. Mengapa anak-anak seperti kami tak pernah dipandang dengan pemikiran positif, selalu saja yang ada dalam fikiran orang-orang tentang kami adalah bahwa kami hanyalah sampah yang tak berguna, kami selalu dianggap menjijikan dan selalu dihina. Sekarang keadaan hatiku saling berseteru, lihat saja nanti, kelak bila aku besar nanti, akan ku tunjukan pada mereka semua, bahwa anak-anak jalan seperti kami bukanlah sampah yang menjijikan melainkan sebuah intan yang lama tertutupi oleh lumut-lumut. Akan ku  buat harum nama kota ku ini. Tiba-tiba lamunanku buyar, baru saja ku lihat setitik cahaya berjalan dengan pelan diatas langit, “Bintang jatuh!” ya bintang jatuh, seketika ku pejamkan mata dan menadahkan tangan sembari memohon permintaan. Konon katanya bila ada bintang jatuh, dan kita sempat meminta permohonan, permohonan itu akan terkabul. “Ya Allah, aku ini hanya anak susah yang hidup dan besar dipinggir jalan, tak banyak harap yang ku punya, aku hanya ingin, kelak aku dapat membuat semua orang tak memandang anak-anak seperti kami dengan sebelah mata, aku ingin, aku dapat membuat perubahan di kotaku ini dan mengharumkan nama baik kotaku “BALIKPAPAN” hmm, sekarang perasaan ku sedikit tenang, aku berharap do’aku akan terkabul, aku yakin Tuhan maha mendengar dan maha melihat. Kulangkahkan kaki ku kembali ke kamar tidurku, sebelum mataku terpejam kembali ku panjatkan permintaan ku yang tadi berlangsung tidak lama saat bintang jatuh. Lalu mataku terpejam dan kini aku hanyut dalam mimpi yang menampakan seorang lelaki tampan berjas hitam berdalamkan kemeja putih yang indah dan gagah namun wajah tak tampak jelas, ku coba memandang lebih dalam, betapa terkejutnya aku bahwa itu adalah aku yang terlihat berbeda dengan aku yang sekarang. Inikah aku dimasa depan terlihat gagah dan wibawa, serta menjadi orang terpandang oleh sepenjuru mata orang memandang?
Saat aku terbangun aku kembali berharap bahwa do’a, harapan, serta mimipnya semalam. Akan terwujud. Jiwa optimis muncul dalam benakku! Lalu aku berangkat sekolah dan belajar sungguh-sungguh.


KARYA : Dina Rusliana

Tidak ada komentar:

Posting Komentar